Selasa, 27 Maret 2012

KEBIJAKAN KONVERSI MINYAK TANAH KE ELPIJI



Liberalisasi distribusi dan pemasaran migas, Pemerintah lewat RUU Migas berjanji untuk mengikis habis monopoli di PERTAMINA. Namun yang ditawarkan adalah membuka suatu kesempatan bagi perusahaan swasta lain untuk ikut berkompetisi dalam distribusi dan pemasaran migas. Sepintas ide ini cukup menarik, namun ancaman di balik itu sungguh sangat mengerikan. Saat ini yang paling siap untuk berkompetisi adalah perushaan-perusahaan multinasional seperti Mobil Oil, Shell, Caltex, Texaco, Unocal, Vico, Total dan lain sebagainya. Karena mereka yang paling siap, maka mereka yang akan merebut pangsa pasar distribusi dan pemasaran migas di Indonesia. Maka yang akan terjadi adalah bergantinya Monopoli Pertamina pada Oligopoli perusahaan multinasional. Ancaman besarnya modal yang akan masuk pada industri migas di Indonesia, juga menjadi tidak mendapatkan perhatian pemerintah. Padahal, dilihat dari rencana investasi yang sedang disiapkan oleh perusahaan multinasional dan campur tangan mereka lewat lembaga-lembaga keuangan internasional dalam kebijakan negara, adalah ancaman serius yang patut diperhatikan semua pihak. [1]
Krisis minyak tanah dan energi lain berdampak pada panjangnya antrian minyak tanah menjadi pemandangan sehari-hari di seluruh Indonesia. Masyarakat harus antre berjam-jam hanya untuk mendapatkan minyak tanah. Fakta ini menambah catatan buruk dari pengelolaan energi yang tidak konsisten. Untuk itu pemerintah membuat program konversi minyak tanah ke elpiji. Program konversi minyak tanah ke gas yang digulirkan pemerintah ditentang sejumlah kalangan. Harga minyak tanah menjadi mahal dan sulit didapat. Warga yang masih menggunakan minyak tanah tentu merasa terbebani oleh masalah itu. Untuk menggunakan elpiji terus terang belum berani meski secara ekonomis, penggunaan elpiji memang lebih efisien dibanding minyak tanah. Karena itu, pemerintah mulai melakukan konversi ke elpiji yang diketahui lebih bersih dan efisien. Namun secara kultur, masyarakat kita masih ada yang belum siap mengganti minyak tanah dengan elpiji.
Akibatnya timbul pro dan kontra di masyarakat. Dampaknya, sekarang tidak hanya minyak tanah yang langka, pasok elpiji sempat berkurang, menyusul kebijakan Pertamina mengurangi distribusi minyak tanah ke sejumlah daerah. Memang cukup ironis, Indonesia sebagai negara penghasil migas justru mengalami kelangkaan BBM maupun gas.[2]  
Di tengah berbagai penolakan, Wakil Presiden Jusuf Kalla menyatakan program konversi minyak tanah ke elpiji akan tetap dijalankan. Menurut Wapres, jika berhasil, program konversi akan menguntungkan pemerintah dan konsumen (warga). Pemerintah bisa menghemat subsidi bahan bakar minyak senilai Rp 22 triliun per tahun, sedangkan tiap keluarga bisa menghemat belanja senilai Rp 20.000 hingga Rp 25.000 per bulan. Pernyataan Wapres menjadi indikasi kuat bahwa sejak awal perhatian pemerintah memang hanya terfokus pada besaran subsidi. Yang diutamakan sebatas akselerasi program dan secepat mungkin menarik minyak tanah bersubsidi.
Akibatnya, penyediaan energi untuk kaum miskin direduksi menjadi sebatas masalah fuel switching yang dihipotesiskan akan selesai dengan membagikan kompor dan tabung gas gratis.[3] Meski elpiji disosialisasikan lebih efisien, banyak warga tetap enggan menggunakan kompor gas, salah satunya karena khawatir penghasilannya tak selalu cukup untuk membeli isi ulang elpiji. Kendala likuiditas (liquidity constraint) ini terbukti, seperti dilaporkan media, sebagian keluarga justru lebih memilih menjual tabung dan kompor gas yang dibagikan pemerintah untuk menutupi kebutuhan hidup.[4]
Saya kontra terhadap kebijakan konversi minyak tanah ke elpiji. Menurut Perspektif saya sebelum kebijakan konversi minyak tanah diberlakukan, persoalan lain seperti tingginya harga sembilan kebutuhan bahan pokok (sembako) bisa teratasi. Sekarang tekanan ekonomi masyarakat makin besar di tengah ketidakstabilan harga kebutuhan pokok, terjadi kelangkaan minyak tanah.
Sekarang muncul kebijakan konversi minyak tanah oleh pemerintah yang justru lebih menyengsarakan masyarakat. Seharusnya kebijakan transisi energi ini didukung kesadaran, bahwa seluruh masyarakat memang memerlukan energi yang sehat. Jadi pemerintah harus lebih peka melihat persoalan yang dihadapi masyarakat saat ini. Jangan sampai kebijakan justru membawa sengsara bagi masyarakat. Bagi masyarakat yang kurang mampu , sulit memahami konversi ke elpiji dalam logika penghematan. Bagi mereka, minyak tanah yang bisa diecer hingga setengah liter terasa lebih hemat karena tak menyita pengeluaran.
Pengelolaan migas seharusnya tidak diserahkan ke investor asing atau swasta, mungkin pasokan migas di dalam negeri bisa terpenuhi. Sekarang investor asing lebih memilih menjual migas ke pasar dunia, karena dinilai lebih menguntungkan dibanding mengutamakan pasok untuk dalam negeri. Pemerintah harus bisa memenuhi kebutuhan migas bagi masyarakat secara memadai dengan harga murah.

REKOMENDASI
1)      Sebelum kebijakan konversi minyak tanah ke elpiji diberlakukan seharusnya pemerintah menurunkan harga-harga kebutuhan pokok terlebih dahulu, agar tercipta kestabilan kebutuhan pokok.
2)      Sumberdaya alam migas sebaiknya dikuasai negara dan dikelola oleh negara, bukannya diserahkan ke investor asing atau swasta.
3)      Pemerintah seharusnya lebih peka terhadap kondisi masyarakat.
4)      Seharusnya pemerintah melakukan adaptasi kebijakan sebelum melakukan konversi minyak tanah secara menyeluruh. Jangan langsung mengurangi pasok minyak tanah.
5)      Pemerintah jangan sampai menggeluarkan kebijakan yang membuat masyarakatnya menjadi sengsara, karena kebijakan dibuat dan dilaksanakan untuk menciptakan keadilan dan kesejahteraan bangsa ini sesuai dengan pancasila dan UUD 1945.




DAFTAR PUSTAKA
2.      Diunduh dari http://pdfdatabase.com/search/kelangkaan-dan-sumber-daya-alam.html
3.      Dikutip dari Kompas, 10 September 2007
4.      Diunduh dari www.detik.com







[1]  Diunduh dari www.jurnal-ekonomi.org/2004/04/22/ada-apa-dengan-pengelolaan-sumber-daya-alam-indonesia

[2] Diunduh dari http://pdfdatabase.com/search/kelangkaan-dan-sumber-daya-alam.html
[3] Dikutip dari Kompas, 10 September 2007
[4] Diunduh dari www.detik.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar