Liberalisasi distribusi dan pemasaran migas, Pemerintah
lewat RUU Migas berjanji untuk mengikis habis monopoli di PERTAMINA. Namun yang
ditawarkan adalah membuka suatu kesempatan bagi perusahaan swasta lain untuk ikut
berkompetisi dalam distribusi dan pemasaran migas. Sepintas ide ini cukup
menarik, namun ancaman di balik itu sungguh sangat mengerikan. Saat ini yang
paling siap untuk berkompetisi adalah perushaan-perusahaan multinasional
seperti Mobil Oil, Shell, Caltex, Texaco, Unocal, Vico, Total dan lain
sebagainya. Karena mereka yang paling siap, maka mereka yang akan merebut
pangsa pasar distribusi dan pemasaran migas di Indonesia. Maka yang akan
terjadi adalah bergantinya Monopoli Pertamina pada Oligopoli perusahaan
multinasional. Ancaman besarnya modal yang akan masuk pada industri migas di
Indonesia, juga menjadi tidak mendapatkan perhatian pemerintah. Padahal,
dilihat dari rencana investasi yang sedang disiapkan oleh perusahaan
multinasional dan campur tangan mereka lewat lembaga-lembaga keuangan
internasional dalam kebijakan negara, adalah ancaman serius yang patut
diperhatikan semua pihak. [1]
Krisis minyak tanah dan energi lain berdampak pada panjangnya antrian
minyak tanah menjadi pemandangan sehari-hari di seluruh Indonesia. Masyarakat harus antre
berjam-jam hanya untuk mendapatkan minyak tanah. Fakta ini menambah catatan
buruk dari pengelolaan energi yang tidak konsisten. Untuk itu pemerintah
membuat program konversi minyak tanah ke elpiji. Program
konversi minyak tanah ke gas yang digulirkan pemerintah ditentang sejumlah
kalangan. Harga minyak tanah menjadi mahal dan sulit didapat. Warga yang masih
menggunakan minyak tanah tentu merasa terbebani oleh masalah itu. Untuk
menggunakan elpiji terus terang belum berani meski secara ekonomis, penggunaan
elpiji memang lebih efisien dibanding minyak tanah. Karena itu, pemerintah
mulai melakukan konversi ke elpiji yang diketahui lebih bersih dan efisien.
Namun secara kultur, masyarakat kita masih ada yang belum siap mengganti minyak
tanah dengan elpiji.
Akibatnya timbul pro dan kontra di masyarakat. Dampaknya, sekarang
tidak hanya minyak tanah yang langka, pasok elpiji sempat berkurang, menyusul
kebijakan Pertamina mengurangi distribusi minyak tanah ke sejumlah daerah. Memang
cukup ironis, Indonesia
sebagai negara penghasil migas justru mengalami kelangkaan BBM maupun gas.[2]
Di tengah berbagai penolakan, Wakil Presiden Jusuf Kalla menyatakan
program konversi minyak tanah ke elpiji akan tetap dijalankan. Menurut Wapres,
jika berhasil, program konversi akan menguntungkan pemerintah dan konsumen
(warga). Pemerintah bisa menghemat subsidi bahan bakar minyak senilai Rp 22
triliun per tahun, sedangkan tiap keluarga bisa menghemat belanja senilai Rp
20.000 hingga Rp 25.000 per bulan. Pernyataan Wapres menjadi indikasi kuat
bahwa sejak awal perhatian pemerintah memang hanya terfokus pada besaran
subsidi. Yang diutamakan sebatas akselerasi program dan secepat mungkin menarik
minyak tanah bersubsidi.
Akibatnya, penyediaan energi untuk kaum miskin direduksi menjadi
sebatas masalah fuel switching yang dihipotesiskan akan selesai dengan
membagikan kompor dan tabung gas gratis.[3]
Meski elpiji disosialisasikan lebih efisien, banyak warga tetap enggan
menggunakan kompor gas, salah satunya karena khawatir penghasilannya tak selalu
cukup untuk membeli isi ulang elpiji. Kendala likuiditas (liquidity constraint)
ini terbukti, seperti dilaporkan media, sebagian keluarga justru lebih memilih
menjual tabung dan kompor gas yang dibagikan pemerintah untuk menutupi
kebutuhan hidup.[4]
Saya kontra terhadap kebijakan konversi minyak tanah ke elpiji. Menurut
Perspektif saya sebelum kebijakan konversi minyak tanah diberlakukan, persoalan
lain seperti tingginya harga sembilan kebutuhan bahan pokok (sembako) bisa
teratasi. Sekarang tekanan ekonomi masyarakat makin besar di tengah
ketidakstabilan harga kebutuhan pokok, terjadi kelangkaan minyak tanah.
Sekarang muncul kebijakan konversi minyak tanah oleh pemerintah yang
justru lebih menyengsarakan masyarakat. Seharusnya kebijakan transisi energi
ini didukung kesadaran, bahwa seluruh masyarakat memang memerlukan energi yang
sehat. Jadi pemerintah harus lebih peka melihat persoalan yang dihadapi
masyarakat saat ini. Jangan sampai kebijakan justru membawa sengsara bagi
masyarakat. Bagi masyarakat yang kurang mampu , sulit memahami konversi ke
elpiji dalam logika penghematan. Bagi mereka, minyak tanah yang bisa diecer
hingga setengah liter terasa lebih hemat karena tak menyita pengeluaran.
Pengelolaan migas seharusnya tidak diserahkan ke investor asing atau
swasta, mungkin pasokan migas di dalam negeri bisa terpenuhi. Sekarang investor
asing lebih memilih menjual migas ke pasar dunia, karena dinilai lebih
menguntungkan dibanding mengutamakan pasok untuk dalam negeri. Pemerintah harus
bisa memenuhi kebutuhan migas bagi masyarakat secara memadai dengan harga murah.
REKOMENDASI
1) Sebelum kebijakan konversi minyak tanah
ke elpiji diberlakukan seharusnya pemerintah menurunkan harga-harga kebutuhan
pokok terlebih dahulu, agar tercipta kestabilan kebutuhan pokok.
2)
Sumberdaya alam migas sebaiknya dikuasai
negara dan dikelola oleh negara, bukannya diserahkan ke investor asing atau
swasta.
3)
Pemerintah seharusnya lebih
peka terhadap kondisi masyarakat.
4)
Seharusnya pemerintah melakukan
adaptasi kebijakan sebelum melakukan konversi minyak tanah secara menyeluruh.
Jangan langsung mengurangi pasok minyak tanah.
5)
Pemerintah jangan sampai
menggeluarkan kebijakan yang membuat masyarakatnya menjadi sengsara, karena
kebijakan dibuat dan dilaksanakan untuk menciptakan keadilan dan kesejahteraan
bangsa ini sesuai dengan pancasila dan UUD 1945.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Diunduh dari www.jurnal-ekonomi.org/2004/04/22/ada-apa-dengan-pengelolaan-sumber-daya-alam-indonesia
2.
Diunduh dari http://pdfdatabase.com/search/kelangkaan-dan-sumber-daya-alam.html
3.
Dikutip dari Kompas, 10 September 2007
4.
Diunduh dari www.detik.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar