Selasa, 27 Maret 2012

Pengaruh PAD Terhadap Alokasi Belanja Daerah

Latar Belakang Masalah

Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan semua penerimaan daerah yang berasal dari sumber ekonomi asli daerah. Optimalisasi penerimaan Pendapatan Asli Daerah hendaknya didukung upaya Pemerintah Daerah dengan meningkatkan kualitas layanan publik (Mardiasmo, 2002)[1]. Pendapatan Asli Daerah (PAD) setiap daerah berbeda-beda, daerah yang memiliki kemajuan dibidang industri dan memiliki kekayaan alam yang melimpah cenderung memiliki PAD jauh lebih besar dibanding daerah lainnya. Karena itu terjadi ketimpangan Pendapatan Asli Daerah, disatu sisi ada daerah yang sangat kaya karena memiliki PAD yang tinggi dan disisi lain ada daerah yang tertinggal karena memiliki PAD yang rendah. Menurut Halim (2009) permasalahan yang dihadapi daerah pada umumnya berkaitan dengan penggalian sumber-sumber pajak dan retribusi daerah yang merupakan salah satu komponen dari PAD masih belum memberikan konstribusi signifikan terhadap penerimaan daerah secara keseluruhan. [2]
Kemampuan perencanaan dan pengawasan keuangan yang lemah, dapat mengakibatkan kebocoran-kebocoran yang sangat berarti bagi daerah. Peranan Pendapatan Asli Daerah dalam membiayai kebutuhan pengeluaran daerah sangat kecil dan bervariasi antar daerah, yaitu kurang dari 10% hingga 50%. Sebagian besar wilayah Provinsi dapat membiayai kebutuhan pengeluaran kurang dari 10%. Distribusi pajak antar daerah sangat timpang karena basis pajak antar daerah sangat bervariasi. Peranan pajak dan retribusi daerah dalam pembiayaan yang sangat rendah dan bervariasi terjadi hal ini terjadi karena adanya perbedaan yang sangat besar dalam jumlah penduduk, keadaan geografis (berdampak pada biaya relative mahal) dan kemampuan masyarakat, sehingga dapat mengakibatkan biaya penyediaan pelayanan kepada masyarakat sangat bervariasi.
Dalam Undang-undang No.32 Tahun 2004 disebutkan bahwa untuk pelaksanaan kewenangan Pemerintah Daerah, Pemerintah Pusat akan mentransfer Dana Perimbangan yang terdiri dari Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan Dana Bagi Hasil yang terdiri dari pajak dan sumber daya alam. Disamping Dana Perimbangan tersebut, Pemerintah Daerah mempunyai sumber pendanaan sendiri berupa Pendapatan Asli Daerah (PAD), pembiayaan, dan lain-lain pendapatan daerah. Kebijakan penggunaan semua dana tersebut diserahkan kepada Pemerintah Daerah. Dana transfer dari Pemerintah Pusat digunakan secara efektif dan efisien oleh Pemerintah Daerah dalam meningkatkan pelayanannya kepada masyarakat.[3]

Rumusan Masalah
Apakah Pendapatan Asli Daerah (PAD) berpengaruh terhadap alokasi belanja daerah.

Kerangka Teori

PAD adalah Pendapatan Asli Daerah yang terdiri dari Hasil Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Pendapatan dari Laba Perusahaan Daerah dan lain-lain Pendapatan Yang Sah. Belanja daerah adalah semua pengeluaran Pemerintah Daerah pada suatu periode anggaran. Alokasi belanja daerah terdiri dari belanja tidak langsung dan belanja langsung. Belanja tidak langsung merupakan belanja yang tidak memiliki keterkaitan secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan, terdiri dari belanja pegawai, belanja bunga, subsidi, hibah, bantuan sosial, belanja bagi hasil, bantuan keuangan dan belanja tidak terduga. Sedangkan belanja langsung merupakan belanja yang memiliki keterkaitan secara langsung dengan program dan kegiatan yang meliputi belanja pegawai, belanja barang dan jasa serta belanja modal.












Hipotesis
Ho: Pendapatan Asli Daerah (PAD) berpengaruh positif terhadap alokasi belanja     langsung(ABL).
H1: Pendapatan Asli Daerah (PAD) berpengaruh positif terhadap alokasi belanja tidak langsung (ABTL).
Pendapatan Asli Daerah berpengaruh positif terhadap alokasi belanja langsung. PAD memiliki peran yang cukup signifikan dalam menentukan kemampuan daerah untuk melakukan aktivitas pemerintah dan program-program pembangunan daerah. Pemerintah mempunyai kewajiban untuk meningkatkan taraf kesejahteraan rakyat serta menjaga dan memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat. Jadi, PAD berpengaruh terhadap belanja langsung
Pendapatan Asli Daerah berpengaruh positif terhadap alokasi belanja tidak langsung, karena belanja tidak langsung dialokasikan untuk membiayai Belanja pegawai berupa gaji dan tunjangan, Belanja hibah, Belanja bantuan sosial, Belanja Bagi Hasil kepada Kabupaten/Kota dan Pemerintah Desa, Belanja Bantuan Keuangan kepada Kabupaten/Kota dan Pemerintah Desa, Belanja tidak tersangka. Peningkatan pendapatan yang diperoleh dari PAD mengalami pertambahan karena alokasi belanja tidak langsung cenderung digunakan untuk membiayai belanja pegawai berupa gaji dan tunjangan yang tiap tahun terjadi kenaikan gaji pegawai, dibanding untuk pengalokasian belanja tidak langsung lainnya. Dengan adanya kenaikan belanja pegawai mengorbankan komitmen pemerintah untuk mensejahterakan rakyat.

Definisi Konsep

a)      Anggaran adalah rencana kegiatan keuangan yang berisi perkiraan belanja yang diusulkan dalam satu periode dan sumber pendapatan yang diusulkan untuk membiayai belanja tersebut. Anggaran merupakan alat penting di dalam penyelenggaran pemerintahan (Arif, 2002). [4]
b)      APBD menggambarkan segala bentuk kegiatan Pemerintah daerah dalam mencari sumber-sumber penerimaan dan kemudian bagaimana dana-dana tersebut digunakan untuk mencapai tujuan pemerintah dalam kurun waktu satu tahun.
c)      Anggaran daerah merupakan salah satu alat yang memegang peranan penting
dalam rangka meningkatakan pelayanan publik dan didalamnya tercermin kebutuhan masyarakat dengan memperhatikan potensi dan sumber-sumber kekayaan daerah. Sedangkan APBN merupakan rencana keuangan tahunan pemerintah negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat/DPR (UU Keuangan Negara, 2002).
d)     Belanja daerah adalah semua pengeluaran Pemerintah Daerah pada suatu periode Anggaran. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah terdiri dari tiga komponen utama, yaitu unsur penerimaan, belanja rutin dan belanja pembangunan. Ketiga komponen itu meskipun disusun hampir secara bersamaan, akan tetapi proses penyusunannya berada di lembaga yang berbeda (Halim, 2002).
e)      Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan semua penerimaan daerah yang berasal dari sumber ekonomi asli daerah. Identifikasi sumber Pendapatan Asli Daerah adalah meneliti, menentukan dan menetapkan mana sesungguhnya yang menjadi sumber Pendapatan Asli Daerah dengan cara meneliti dan mengusahakan serta mengelola sumber pendapatan tersebut dengan benar sehingga memberikan hasil yang maksimal (Elita dalam Pratiwi, 2007).[5]
Definisi Operasional

a)      Belanja daerah adalah semua pengeluaran Pemerintah Daerah pada suatu periode Anggaran. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah terdiri dari tiga komponen utama, yaitu unsur penerimaan, belanja rutin dan belanja pembangunan. Ketiga komponen itu meskipun disusun hampir secara bersamaan, akan tetapi proses penyusunannya berada di lembaga yang berbeda (Halim, 2002).
b)      Alokasi belanja daerah terdiri dari belanja tidak langsung dan belanja langsung. Belanja tidak langsung merupakan belanja yang tidak memiliki keterkaitan secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan pemerintah yang terdiri dari belanja pegawai, belanja bunga, subsidi, hibah, bantuan sosial, belanja bagi hasil, bantuan keuangan dan belanja tidak terduga. Rumus untuk menghitung alokasi belanja tidak langsung (ABTL) yaitu: ABTL = belanja pegawai + belanja bunga + belanja subsidi + belanja hibah + belanja bantuan sosial + belanja bagi hasil + bantuan keuangan + belanja tidak terduga.
c)      Belanja langsung merupakan belanja yang memiliki keterkaitan secara langsung dengan program dan kegiatan pemerintah yang meliputi belanja pegawai, belanja barang dan jasa serta belanja modal. Rumus untuk menghitung alokasi belanja langsung (ABL) yaitu: ABL = belanja pegawai + belanja barang dan jasa + belanja modal.
d)     Menurut Bastian (2002) Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah Pendapatan Asli Daerah yang terdiri dari Hasil Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Pendapatan dari Laba Perusahaan Daerah dan lain-lain Pendapatan Yang Sah.[6] Rumus untuk menghitung Pendapatan Asli Daerah (PAD) yaitu: PAD = Pajak daerah + Retribusi daerah + Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan + Lain-lain PAD yang sah.


Metodologi

a)      Penelitian ini dengan menggunakan pendekatan kuantitatif. Secara umum, pendekatan kuantitatif lebih fokus pada tujuan untuk generalisasi, dengan melakukan pengujian statistik dan steril dari pengaruh subjektif peneliti (Sekaran, 1992).
b)      Tehnik pengumpulan data dengan cara dokumen Laporan Realisasi APBD Kabupaten/Kota di Jawa Tengah yang diperoleh dari Situs Dirjen Perimbangan Keuangan Pemerintah Daerah di Internet. Dari laporan Realisasi APBD diperoleh data mengenai jumlah realisasi anggaran Belanja Daerah, Pendapatan Asli Daerah.
c)      Populasi dan sampling Populasi dalam penelitian ini adalah Kabupaten Kebumen.
d)     Tehnik analisis data
e)      Lokasi penelitian Provinsi Jawa Tengah alasannya untuk mengetahui secara empiris pengaruh Pendapatan Asli Daerah (PAD), dan pada alokasi Belanja Daerah Pada Kabupaten Kebumen pada tahun dari 2007 sampai tahun 2009.
















Daftar Pustaka

Arif, Bahtiar. 2002. Akuntansi pemerintahan. Penerbit. Salemba 4: Jakarta.

Bastian, Indra. 2002. Sistem Akuntansi Sektor Publik. Penerbit. Salemba 4: Jakarta.

Halim, Abdul. 2007. Akuntansi Sektor Publik : Akuntansi Keuangan Daerah. Edisi 3. Salemba 4 : Jakarta.

Mardiasmo. 2002. Otonomi dan Manajemen keuangan daerah. Penerbit Andi: Yogyakarta.

Pratiwi, Novi. 2007. Pengaruh Dana Alokasi Umum (DAU) Dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Terhadap Prediksi Belanja Daerah Pada Kabupaten/Kota di Indonesia. Skripsi Sarjana (dipublikasikan). Fakultas Ekonomi UII: Yogyakarta.

Lembaran Negara Republik Indonesia. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintah Daerah.

http://www.bppk.depkeu.go.id/index.php/2008050879/jurnalakuntansipemerintah
Realisasi APBD Tahun 2007-2009 Total Se-provinsi Jawa Tengah dalam:
www.djpk.depkeu.go.id


[1] Mardiasmo. 2002. Otonomi dan Manajemen keuangan daerah. Penerbit Andi: Yogyakarta.

[2] Halim, Abdul. 2007. Akuntansi Sektor Publik : Akuntansi Keuangan Daerah. Edisi 3. Salemba 4 : Jakarta.


[3] Lembaran Negara Republik Indonesia. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.


[4] Arif, Bahtiar. 2002. Akuntansi pemerintahan. Penerbit. Salemba 4: Jakarta.

[5] Pratiwi, Novi. 2007. Pengaruh Dana Alokasi Umum (DAU) Dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Terhadap Prediksi Belanja Daerah Pada Kabupaten/Kota di Indonesia. Skripsi Sarjana (dipublikasikan). Fakultas Ekonomi UII: Yogyakarta.


[6] Bastian, Indra. 2002. Sistem Akuntansi Sektor Publik. Penerbit. Salemba 4: Jakarta.


KEBIJAKAN KONVERSI MINYAK TANAH KE ELPIJI



Liberalisasi distribusi dan pemasaran migas, Pemerintah lewat RUU Migas berjanji untuk mengikis habis monopoli di PERTAMINA. Namun yang ditawarkan adalah membuka suatu kesempatan bagi perusahaan swasta lain untuk ikut berkompetisi dalam distribusi dan pemasaran migas. Sepintas ide ini cukup menarik, namun ancaman di balik itu sungguh sangat mengerikan. Saat ini yang paling siap untuk berkompetisi adalah perushaan-perusahaan multinasional seperti Mobil Oil, Shell, Caltex, Texaco, Unocal, Vico, Total dan lain sebagainya. Karena mereka yang paling siap, maka mereka yang akan merebut pangsa pasar distribusi dan pemasaran migas di Indonesia. Maka yang akan terjadi adalah bergantinya Monopoli Pertamina pada Oligopoli perusahaan multinasional. Ancaman besarnya modal yang akan masuk pada industri migas di Indonesia, juga menjadi tidak mendapatkan perhatian pemerintah. Padahal, dilihat dari rencana investasi yang sedang disiapkan oleh perusahaan multinasional dan campur tangan mereka lewat lembaga-lembaga keuangan internasional dalam kebijakan negara, adalah ancaman serius yang patut diperhatikan semua pihak. [1]
Krisis minyak tanah dan energi lain berdampak pada panjangnya antrian minyak tanah menjadi pemandangan sehari-hari di seluruh Indonesia. Masyarakat harus antre berjam-jam hanya untuk mendapatkan minyak tanah. Fakta ini menambah catatan buruk dari pengelolaan energi yang tidak konsisten. Untuk itu pemerintah membuat program konversi minyak tanah ke elpiji. Program konversi minyak tanah ke gas yang digulirkan pemerintah ditentang sejumlah kalangan. Harga minyak tanah menjadi mahal dan sulit didapat. Warga yang masih menggunakan minyak tanah tentu merasa terbebani oleh masalah itu. Untuk menggunakan elpiji terus terang belum berani meski secara ekonomis, penggunaan elpiji memang lebih efisien dibanding minyak tanah. Karena itu, pemerintah mulai melakukan konversi ke elpiji yang diketahui lebih bersih dan efisien. Namun secara kultur, masyarakat kita masih ada yang belum siap mengganti minyak tanah dengan elpiji.
Akibatnya timbul pro dan kontra di masyarakat. Dampaknya, sekarang tidak hanya minyak tanah yang langka, pasok elpiji sempat berkurang, menyusul kebijakan Pertamina mengurangi distribusi minyak tanah ke sejumlah daerah. Memang cukup ironis, Indonesia sebagai negara penghasil migas justru mengalami kelangkaan BBM maupun gas.[2]  
Di tengah berbagai penolakan, Wakil Presiden Jusuf Kalla menyatakan program konversi minyak tanah ke elpiji akan tetap dijalankan. Menurut Wapres, jika berhasil, program konversi akan menguntungkan pemerintah dan konsumen (warga). Pemerintah bisa menghemat subsidi bahan bakar minyak senilai Rp 22 triliun per tahun, sedangkan tiap keluarga bisa menghemat belanja senilai Rp 20.000 hingga Rp 25.000 per bulan. Pernyataan Wapres menjadi indikasi kuat bahwa sejak awal perhatian pemerintah memang hanya terfokus pada besaran subsidi. Yang diutamakan sebatas akselerasi program dan secepat mungkin menarik minyak tanah bersubsidi.
Akibatnya, penyediaan energi untuk kaum miskin direduksi menjadi sebatas masalah fuel switching yang dihipotesiskan akan selesai dengan membagikan kompor dan tabung gas gratis.[3] Meski elpiji disosialisasikan lebih efisien, banyak warga tetap enggan menggunakan kompor gas, salah satunya karena khawatir penghasilannya tak selalu cukup untuk membeli isi ulang elpiji. Kendala likuiditas (liquidity constraint) ini terbukti, seperti dilaporkan media, sebagian keluarga justru lebih memilih menjual tabung dan kompor gas yang dibagikan pemerintah untuk menutupi kebutuhan hidup.[4]
Saya kontra terhadap kebijakan konversi minyak tanah ke elpiji. Menurut Perspektif saya sebelum kebijakan konversi minyak tanah diberlakukan, persoalan lain seperti tingginya harga sembilan kebutuhan bahan pokok (sembako) bisa teratasi. Sekarang tekanan ekonomi masyarakat makin besar di tengah ketidakstabilan harga kebutuhan pokok, terjadi kelangkaan minyak tanah.
Sekarang muncul kebijakan konversi minyak tanah oleh pemerintah yang justru lebih menyengsarakan masyarakat. Seharusnya kebijakan transisi energi ini didukung kesadaran, bahwa seluruh masyarakat memang memerlukan energi yang sehat. Jadi pemerintah harus lebih peka melihat persoalan yang dihadapi masyarakat saat ini. Jangan sampai kebijakan justru membawa sengsara bagi masyarakat. Bagi masyarakat yang kurang mampu , sulit memahami konversi ke elpiji dalam logika penghematan. Bagi mereka, minyak tanah yang bisa diecer hingga setengah liter terasa lebih hemat karena tak menyita pengeluaran.
Pengelolaan migas seharusnya tidak diserahkan ke investor asing atau swasta, mungkin pasokan migas di dalam negeri bisa terpenuhi. Sekarang investor asing lebih memilih menjual migas ke pasar dunia, karena dinilai lebih menguntungkan dibanding mengutamakan pasok untuk dalam negeri. Pemerintah harus bisa memenuhi kebutuhan migas bagi masyarakat secara memadai dengan harga murah.

REKOMENDASI
1)      Sebelum kebijakan konversi minyak tanah ke elpiji diberlakukan seharusnya pemerintah menurunkan harga-harga kebutuhan pokok terlebih dahulu, agar tercipta kestabilan kebutuhan pokok.
2)      Sumberdaya alam migas sebaiknya dikuasai negara dan dikelola oleh negara, bukannya diserahkan ke investor asing atau swasta.
3)      Pemerintah seharusnya lebih peka terhadap kondisi masyarakat.
4)      Seharusnya pemerintah melakukan adaptasi kebijakan sebelum melakukan konversi minyak tanah secara menyeluruh. Jangan langsung mengurangi pasok minyak tanah.
5)      Pemerintah jangan sampai menggeluarkan kebijakan yang membuat masyarakatnya menjadi sengsara, karena kebijakan dibuat dan dilaksanakan untuk menciptakan keadilan dan kesejahteraan bangsa ini sesuai dengan pancasila dan UUD 1945.




DAFTAR PUSTAKA
2.      Diunduh dari http://pdfdatabase.com/search/kelangkaan-dan-sumber-daya-alam.html
3.      Dikutip dari Kompas, 10 September 2007
4.      Diunduh dari www.detik.com







[1]  Diunduh dari www.jurnal-ekonomi.org/2004/04/22/ada-apa-dengan-pengelolaan-sumber-daya-alam-indonesia

[2] Diunduh dari http://pdfdatabase.com/search/kelangkaan-dan-sumber-daya-alam.html
[3] Dikutip dari Kompas, 10 September 2007
[4] Diunduh dari www.detik.com

Senin, 26 Maret 2012

Definisi Ilmu Politik





Sebelum mendefinisikan apa itu ilmu politik, maka perlu diketahui lebih dulu apa itu politik. Secara etimologis, politik berasal dari bahasa Yunani ”polis” yang berarti kota yang berstatus negara. Secara umum istilah politik dapat diartikan berbagai macam kegiatan dalam suatu negara yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan dari sistem itu dan melaksanakan tujuan-tujuan itu.
Menurut Miriam Budiardjo dalam buku ”Dasar-dasar Ilmu Politik”, ilmu politik adalah ilmu yang mempelajari tentang perpolitikan. Politik diartikan sebagai usaha-usaha untuk mencapai kehidupan yang baik. Orang Yunani seperti Plato dan Aristoteles menyebutnya sebagai en dam onia atau the good life(kehidupan yang baik).
Menurut Goodin dalam buku “A New Handbook of Political Science”, politik dapat diartikan sebagai penggunaan kekuasaan social secara paksa. Jadi, ilmu politik dapat diartikan sebagai sifat dan sumber paksaan itu serta cara menggunakan kekuasaan social dengan paksaan tersebut.
Beberapa definisi berbeda juga diberikan oleh para ahli , misalnya:
  • Menurut Bluntschli, Garner dan Frank Goodnow menyatakan bahwa ilmu politik adalah ilmu yang mempelajari lingkungan kenegaraan.
  • Menurut Seely dan Stephen Leacock, ilmu politik merupakan ilmu yang serasi dalam menangani pemerintahan.
  • Dilain pihak pemikir Prancis seperti Paul Janet menyikapi ilmu politik sebagai ilmu yang mengatur perkembangan Negara begitu juga prinsip- prinsip pemerintahan, Pendapat ini didukung juga oleh R.N. Gilchrist.
Ilmu politik secara teoritis terbagi kepada dua yaitu :

  • Valuational artinya ilmu politik berdasarkan moral dan norma politik. Teori valuational ini terdiri dari filsafat politik, ideologi dan politik sistematis.
  • Non valuational artinya ilmu politik hanya sekedar mendeskripsikan dan mengkomparasikan satu peristiwa dengan peristiwa lain tanpa mengaitkannya dengan moral atau norma.